foto orang jawa kuno
FotoRetro Orang Jawa Kuno Vol 02 di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
Mottohidup bahasa Jawa lucu. foto: Instagram/@lorohcok. 31. "Dosa sing paling menyedihkan iku dosambat ora duwe duit." (Dosa yang paling menyedihkan adalah pada mengeluh tidak punya duit) 32. "Uripmu koyo wit gedhang duwe jantung tapi ora duwe ati." (Hidupmu seperti pohon pisang, punya jantung tapi tak punya hati) 33.
OrangChina kuno juga sangat mementingkan pemakaman sebagai penghormatan kepada almarhum, yang dianggap sebagai salah satu ritual terpenting bagi kehidupan setiap orang.. Hal terpenting dalam pemakaman adalah pemilihan perlengkapan pemakaman dan pembangunan makam. Baca juga: VIRAL Restoran Berada di Kuburan Ramai Dikunjungi, Para Pembeli Menikmati Makan Dikelilingi 12 Makam
26 Foto Orang Jawa. Meskipun, banyak juga orang dari luar pulau jawa yang paham atau bahkan sudah mahir berbahasa jawa. Apakah anda mencari gambar tentang foto orang jawa kuno? Penggunaan singkatan kata ini mungkin bertujuan untuk mempermudah pengucapan. Download 62 gambar animasi orang jawa hd free download now 89 gambar gambar kartun lucu
PJalananSuku Jawa adalah suku bangsa terbesar yang ada di Indonesia dengan jumlah sekitar 120 juta jiwa atau sekitar 45% populasi manusia di Nusantara. Buka
Wenn Männer Mit Anderen Frauen Flirten. Lukisan, gambar, maupun sketsa tentang nusantara jaman dulu yang sering saya temui kebanyakan berasal dari sumber Eropa. Gambar-gambar tersebut berasal dari dokumen milik pedagang barat yang mencatat transaksi dagang, ilmuwan dan naturalis barat yang mendokumentasikan penelitian tentang satwa atau penduduk di negeri asing, pengelana yang menerbitkan catatan perjalanan, perwira yang menulis laporan tentang aksi militer pasukannya kepada atasan, serta serdadu yang menuangkan isi hatinya dalam buku harian. Selain sumber sejarah yang sifatnya kebetulan’ di atas, ada banyak litografi yang dikerjakan oleh siswa pelukis yang mendapat pelatihan dari angkatan laut Belanda, maupun pelukis profesional yang sengaja didatangkan dari negeri kincir angin untuk memenuhi permintaan orang-orang kaya di Batavia baca Mengintip Dunia Kuno Lewat Litografi . Meskipun eksotis, kaca mata orang Eropa kadang kurang pas, jadi bukan main girang hati saya saat menemukan sejumlah ilustrasi yang dibuat oleh seniman Cina atau Jepang. Karya-karya mereka ini menawarkan cara yang berbeda untuk menikmati sejarah. Portugis adalah orang Eropa pertama yang mencapai Jepang pada 1543. Inggris datang berikutnya lalu disusul Belanda pada tahun 1600. Untuk membendung upaya penyebaran agama Kristen yang dilakukan Inggris dan Portugis, penguasa Jepang menerapkan Sakuko, yakni praktik isolasi diri yang menutup kontak dengan dunia luar. Sakuko dilaksanakan hingga 220 tahun lamanya dan baru berakhir tahun 1853. Hanya Cina dan Belanda, bangsa Eropa yang hanya memikirkan berdagang dan tidak tertarik mengirim misionaris dan penginjil, yang masih diijinkan berdagang secara terbatas di pelabuhan Dejima, sebuah pelabuhan perdagangan kecil di Nagasaki. Pada periode inilah Belanda masuk ke nusantara sehingga terdapat figur orang Jawa pada lukisan-lukisannya. Ilustrasi-ilustrasi ini muncul dalam beragam gaya, tetapi semua menggambarkan orang Jawa dan orang Bali sebagai budak Belanda, sering memegang payung atau memegang beberapa barang lainnya. Wah, ngenes banget ya orang kita banyak jadi jongos sejak duluuuu sekali 🙁 Orang-Belanda-dan-budak-Jawa-yang-menawarkan-arang-pada-burung-kasuari Qing Imperial Illustrations of Tributary People adalah kumpulan studi deskriptif dan etnologis yang berisi catatan tentang negara-negara anak sungai dan seterusnya serta berbagai kelompok etnis pada masa pemerintahan Qing abad 18. Berikut pengamatan seniman Cina tentang pakaian yang dikenakan penduduk nusantara dari buku itu. Pakaian orang Sumatera digambar oleh seniman Cina abad 18 Pakaian orang Jawa digambar oleh seniman Cina abad 18 Pakaian orang Banjarmasin digambar oleh seniman Cina abad 18 Sumber Munko
Adegan Sinta dan Trijata yang memakai kemben dan kain dalam relief Ramayana di Candi Panataran, Blitar. blog Indonesieverleden. TAK kalah menawan dengan Putri Indumati, ina dan uwa-nya, bersolek mengenakan baju merah. Keduanya belum terlalu tua. Rambut mereka bergelombang, diselingi warna kelabu. Lalu para dayang belia datang bagaikan dewi, mengenakan kemben kain wulang emas. Selendang emas murni yang mereka sampirkan pada bahu tampak berkilauan seperti sayap untuk terbang. Mereka masih keturunan bangsawan sahabat raja. Mereka tengah menghadiri sayembara memperebutkan Putri Indumati. Suasana itu diungkapkan oleh Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad ke-13 M lewat karyanya Kakawin Sumanasāntaka. Dari gambaran singkat itu terbayang bagaimana pakaian orang-orang pada masa lalu. Selain dari karya sastra, informasi itu juga muncul dalam relief candi dan prasasti. Menurut Petrus Josephus Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno, kain wulang adalah perangkat busana perempuan saat seremonial. Bentuknya secarik kain dengan panjang sekitar lima belas kaki yang dililitkan pada batang tubuh. Wulang menutupi tubuh dari pinggang sampai batas atas payudara. Perlengkapan sandang yang dipakai pada abad ke-13 M itu sedikit berbeda dengan cara berpakaian empat abad sebelumnya. Inda Citraninda Noerhadi dalam Busana Jawa Kuna mengelompokkan jenis pakaian yang dijumpai dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Kebanyakan, khususnya perempuan, digambarkan tak menutupi bagian payudara. Pakaian perempuan paling sederhana hanya selembar kain. Panjangnya sebatas lutut. Cara pakainya diputar di badan dari arah kiri ke kanan dan berakhir di sisi kanan. Kain itu dipakai di bawah pusar. Mereka tak memakai perhiasan atau hanya anting-anting sederhana. Terkadang dilengkapi selendang atau kain kecil di bagian pinggang. Dalam relief itu, perempuan juga digambarkan memakai kain dari sebatas bawah pusar hingga mata kaki atau pergelangan kaki. Mereka biasanya pakai kalung, anting-anting, dan ikat pinggang berupa kain. Hiasan di kepala berupa rambut yang disusun ke atas atau disanggul. Sebagian yang lain, pakaiannya berupa kain panjang yang sama seperti sebelumnya. Namun, dihiasi dengan ikat di bagian pinggul dengan hiasan permata dua susun. Pakaiannya lebih kaya dengan beragam perhiasan, gelang, kalung, anting-anting, kelat bahu, gelang kaki. Dipakai juga semacam tali polos yang diselempangkan dari bahu kiri ke pinggang kanan. Hiasan kepalanya berupa susunan rambut yang diangkat tinggi dan diberi tambahan dengan hiasan permata. Sementara untuk pakaian pria, yang paling sederhana hanya memakai kain serupa cawat atau celana pendek. Ada pula yang memakai kain pendek sampai lutut atau kain panjang hingga mata kaki. Mereka memakai perhiasan seperti gelang, kalung dan anting-anting, ditambah ikat pinggang. Rambutnya disanggul dan diberi hiasan seperti bunga-bunga. Pakaian lengkap biasanya kain panjang dilengkapi ikat pinggang berhiasakan permata. Ikat dada, selempang kasta atau upavita. Perhiasannya ramai, seperti gelang, kalung, anting-anting, kelat bahu, dan gelang kaki. Hiasan kepalanya berupa mahkota yang tinggi berhias permata. Kelas Sosial Berdasarkan gambaran relief itu, Inda melihat masyarakat biasanya tak memakai perhiasan. Mereka yang berkedudukan tinggi secara sosial seperti bangsawan yang mampu memakai beragam perhiasan, seperti mangkota, anting, kelat bahu, kalung, gelang, gelang kaki, dan sebagainya. “Pada masyarakat berstatus rendah pakaian fungsinya menutupi dan melindungi, sedangkan untuk yang berstatus tinggi berfungsi menghias tubuh,” jelas Inda. Beda lagi dengan kaum brahmana. Para pendeta digambarkan berjubah yang bahu kanannya terbuka. Dalam prasasti para pendeta diberi pakaian khusus yang disebut sinhel. Hal yang sama diungkapkan catatan Sejarah Dinasti Liang dari abad ke-6 M. Di Jawa, baik pria maupun wanita tidak ada yang mengenakan penutup dada. Namun, mereka mengenakan sarung katun untuk menutupi bagian bawah tubuh. Rambut mereka dibiarkan tergerai. Sementara kalangan bangsawan dan raja mengenakan kain bergambar bunga yang tipis selendang untuk menutupi bagian atas tubuh. Mereka pun mengenakan ikat pinggang emas dan anting-anting emas. “Gadis-gadis muda menutupi tubuh mereka dengan kain katun dan mengenakan ikat pinggang sulam,” ungkap catatan yang diterjemahkan Groeneveltdt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa itu. Tak cuma dari cara berpakaian. Jenis kain pun menunjukkan identitas sosial. Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa mengungkapkan berdasarkan data prasasti pakaian laki-laki biasanya disebut wdihan. Sedangkan pakaian untuk perempuan disebut kain atau ken. “Saat upacara sima, di awal rangkaian acara pimpinan desa, yang mendapat anugerah sima dari raja, membagikan harta kekayaannya kepada anggota masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan sosial, salah satunya pakaian,” jelas Supratikno. Supratikno menyebutkan beberapa jenis kain yang dikenal dalam sumber-sumber Jawa Kuno. Kain yang masuk dalam jenis wdihan adalah ganjar haju patra sisi, ganjar patra sisi, ganjar haji, ganjar patra, jaro haji, jaro, bwat kling putih, bwat pinilai, pinilai, bwat lwitan, kalyaga, pilih angsit, rangga, tapis, siwakidang, bira/wira, jaga, hamawaru, takurang, alapnya, sularikuning, ragi, pangalih, ambay-ambay, lunggar, bwat waitan, cadar, lwir mayang, putih, raja yoga, pamodana, ron paribu, suswan, prana, sulasih, tadahan, dan syami himi-himi. Sementara yang termasuk ken/kain adalah jaro, kalagya, pinilai, bwat wetan, bwat lor, pangkat, bwat ingulu, kalangpakan, atmaraksa. kaki, putih, rangga, dan kalamwetan. Kain-kain itu, menurut Inda, diberikan kepada seseorang sesuai status sosialnya. Dalam Prasasti Rukam 829 saka 907 M disebutkan kain jenis ganjar patra diberikan kepada Rakaryan mapatih i hino, gelar untuk putra sulung raja. Sementara dalam Prasasti Tunahan 794 saka 872 M ganjar patra diberikan kepada Sri Maharaja. Pilih maging dalam Prasasti Sangsang 829 saka juga diberikan kepada Sri Maharaja. Sementara dalam Prasasti Lintakan 841 saka kain yang sama diberikan kepada Rakryan i hino. “Di dalam Prasasti Poh 827 saka wdihan kalyaga diberikan kepada rakryan mapatih i hino, halu, sirikan, wka, sang pamgat tiruan,” jelas Inda. Di dalam Prasasti Mulak 800 saka 878 M disebutkan kain jenis wdihan rangga diberikan kepada makudur. Dalam Prasasti Humanding 797 saka 875 M wdihan angsit diberikan kepada samgat wadihati. Wdihan bira dalam Prasasti Kwak I 801 saka diberikan kepada pejabat halaran, pangkur, tawan, tirip, dan sebagainya. Dalam Prasasti Gandhakuti 1042 M disebutkan penerima hak istimewa diperbolehkan memakai apa saja yang biasa dipakai di dalam nagara. Mereka diperbolehkan memakai pakaian pola ringring bananten yang mungkin artinya kain halus, patarana benanten, kain berwarna emas, pola patah, ajon berpola belalang, berpola kembang, warna kuning, bunga teratai, berpola biji, kain awali, dulang pangdarahan, dodot dengan motif bunga teratai hijau, sadangan warna kunyit, kain nawagraha, dan pasilih galuh. “Contoh dalam kebudayaan Jawa sampai sekarang, red. ternyata terdapat aturan menggunakan pakaian yang berkaitan dengan status sosial,” kata Inda. “Pada penggunaan kain batik, ada motif yang merupakan pantangan.”
Ilustrasi nama bayi Jawa kuno. Foto ShutterstockAdakah di antara kamu yang sedang mencari nama bayi Jawa kuno untuk nama calon anakmu? Kebetulan Mama baru aja mengumpulkan beberapa nama bayi Jawa kuno yang sepertinya bisa kamu jadikan sebagai bayi Jawa kuno menurut Mama punya makna dan penyebutan yang indah. Beberapa orang mungkin menganggap kalau nama dari bahasa daerah itu kuno dan ketinggalan zaman. Tetapi sebenarnya enggak sama sekali!Nama bayi dari bahasa daerah juga enggak kalah baiknya dengan nama yang modern, Ma. Nama-nama ini punya arti nama yang penuh dengan doa dan harapan baik, kok. Salah satu teman Mama juga ada lho yang sengaja memberikan nama bayi Jawa kuno untuk semua anaknya. Katanya sih biar beda dan kalau kamu juga sedang mencari nama bayi Jawa kuno, berikut beberapa nama untuk anak laki-laki dan anak perempuan yang bisa kamu jadikan Bayi Jawa Kuno untuk Anak Laki-lakiIlustrasi nama bayi Jawa kuno untuk anak laki-laki. Foto Pixabay2. Adanu Jadi cahaya atau penerangan bagi yang Adhinatha Paling Bena Berkilau dan Byakta Tampak dan Biantara Penguasa Bryatta Menjauhi diri dari Bhadrika Gagah Cayapata Gugusan Cakara Yang Cipta Anak laki laki yang baik Chalis Terbebas dari ancaman, Dierja Sangat Dewandaru Yang memberi Endra Kelak jadi orang Fusena Perpaduan Fazaira Lahir di waktu Gamya Tingkah laku yang Ganendra Pasukan Giandra Sentosa dan Gumilar Anak laki laki yang terus Hanenda Orang yang pantang Hardiyata Pemimpin yang memberi Hestamma Tangannya Idhang Orang yang bisa jadi Indurasmi Sinar Ihatra Kebaikan di dunia Jagadita Kesejahteraan Janitra Berderajat Laksana Pertanda yang Mahasura Pejuang Bayi Jawa Kuno untuk Anak PerempuanIlustrasi nama bayi Jawa kuno untuk anak perempuan. Foto Shutterstock3. Ananta Pemimpin yang Apsarini Layaknya Aristawati Pintar dan Arkadewi Bidadari dalam Ayu Cantik dan anggun seperti putri Batari Cantik layaknya Cahyati Hatinya Candramaya Cantik seperti bulan Chalya Damayanti Dewi Bidadari Diah Anak perempuan yang Dian Penerang hati orang Endah Cantik dan Erina Ketajaman pikiran dan Garwita Kebanggaan orang Gayatri Perempuan yang memiliki tiga Handayani Memberi Hapsari Perhiasan yang Hardiyanti Perempuan berhati Hesti Indriana Kecantikan yang itu dia, Ma, beberaoa inspirasi nama bayi jawa kuno. Adakah yang menarik dan cocok, Ma?
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Apa Itu Etika Jawa Kuna?Etika Jawa Kuno adalah seperangkat nilai dan norma yang menjadi dasar perilaku orang Jawa pada masa lampau. Etika ini berkembang dan dilestarikan serta dilestarikan sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha di pulau Jawa. Etika Jawa Kuno didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang mengutamakan kebaikan, kerendahan hati, keterbukaan, kesederhanaan, rasa hormat, disiplin, toleransi, dan kebersamaan. Etika ini mendorong individu untuk hidup dengan aturan moral, berperilaku baik dan melayani Jawa Kuno juga menghubungkan kesuksesan dan kesuksesan individu dengan kesejahteraan sosial dan keseimbangan. Dalam etika ini, seseorang dinilai berhasil bila mampu membawa manfaat bagi masyarakat sekitar. Selain itu, etika Jawa kuno menekankan pentingnya persaudaraan, kerja sama, dan gotong royong dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan sosial. Salah satu nilai etika Jawa kuno yang paling penting adalah kebajikan, yang meliputi perilaku moral yang baik seperti kejujuran, kasih sayang, dan kebaikan kepada orang lain. Etika Jawa Kuno juga menekankan pentingnya menghormati orang tua, guru, dan yang lebih tua. Orang Jawa kuno percaya bahwa menghormati orang lain merupakan ukuran yang sangat penting dalam membangun hubungan baik antar anggota masyarakat. Etika Jawa kuno juga mengajarkan kesederhanaan, dimana masyarakat diajarkan untuk hidup sederhana dan tidak menyia-nyiakan barang atau makanan. Prinsip ini juga dianut dalam perilaku sosial, menunjukkan kerendahan hati dan merendahkan diri di depan orang lain. Keterbukaan dan kejujuran juga menjadi nilai penting dalam etika Jawa kuno. Orang Jawa kuno percaya bahwa tidak ada gunanya berbohong atau menyembunyikan apapun, karena kejujuran dan keterbukaan adalah dasar dari hubungan manusia yang baik dan dapat keras dan disiplin juga ditekankan dalam etika Jawa kuno, dimana individu diajarkan untuk bekerja keras dan disiplin yang kuat untuk mencapai tujuan hidup. Disiplin juga ditekankan dalam kehidupan sehari-hari dengan penggunaan yang bertanggung jawab dan menghargai dan kebersamaan juga menjadi nilai penting dalam budaya Jawa kuno. Orang Jawa kuno percaya bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mencapai tujuan hidupnya sendirian, sehingga mereka selalu mencari persahabatan dan saling membantu. Toleransi juga menjadi kunci keharmonisan antar kelompok sosial yang berbeda. Secara keseluruhan, etika Jawa kuno mengajarkan nilai-nilai moral dan perilaku yang sangat pentingSejarah Etika Jawa KunaEtika Jawa Kuno memiliki sejarah yang panjang, berawal dari peradaban Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia pada abad ke-6. Kemudian, agama Hindu-Buddha membawa nilai-nilai moral dan etika yang kuat pada kebudayaan Jawa. Nilai-nilai tersebut kemudian diadopsi dan disesuaikan dengan nilai dan standar yang sudah ada dalam masyarakat Jawa saat itu. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Lihat Pendidikan Selengkapnya
Prajnaparamitha. Foto dokumentasi Museum Nasional. KEN Angrok terperangah ketika tanpa sengaja melihat betis Ken Dedes. Terlihatlah bagian rahasianya yang bersinar. “Jika ada perempuan yang demikian anakku, perempuan itu namanya nariswari. Dia adalah perempuan yang paling utama, anakku,” jawab Dang Hyang Lohgawe ketika ditanya Ken Angrok dalam naskah Pararaton. Perempuan Jawa Kuno memiliki tipe-tipe tertentu, dari paling utama sampai paling buruk. Setidaknya ada empat tipe perempuan yang dibagi bukan hanya dari segi fisik, tapi juga perangainya. Menurut Sejarawan Suwardono kriteria menempatkan perempuan dalam tipe tertentu awalnya bersumber dari India. “Naskah mengenai kriteria perempuan itu tidak ditemukan, namun pada masa itu ketentuan untuk menempatkan sosok perempuan pada tipe tertentu secara umum telah dikenal,” tulis Suwardono dalam Tafsir Baru Ken Angrok. Empat tipe perempuan antara lain padmini, citrini, sankini, dan hastini. Tipe pertama, padmini memiliki ciri fisik matanya seperti mata kijang dengan ujung-ujung kemerahan; hidungnya kecil dan bentuknya bagus; wajahnya bagaikan bulan purnama yang keemasan seperti bunga cempaka; lehernya halus dan luwes; buah dada yang penuh dan tinggi; pusarnya dikelilingi tiga garis lipatan; kulitnya halus seperti kelopak bunga sirsa; suaranya manis mengalun; kalau jalan seperti angsa; wataknya pemalu, menyenangkan, pemurah, setia, memiliki rasa keagamaan, dan bertingkah terhormat. Tipe kedua, citrini memiliki tinggi badan sedang, ramping, dengan pinggul besar; rambutnya hitam lebat; matanya lincah dengan bibir yang penuh seperti buah bimba; lehernya membulat seperti siput dan luwes; dadanya besar dan berat dengan badan yang lentur; suaranya seperti suara merak; jalannya seperti gajah. Tipe ini tidak begitu tinggi sifat spiritualnya. Namun, ia mahir dan bercita rasa tinggi dalam kesenian. Ia suka mengenakan pakaian dan perhiasan yang bagus. Ia pandai bicara dan bebas mengutarakan pendapat. Pandai mengatur urusan rumah tangga. Pun senang dikagumi laki-laki. Tipe ketiga, sankini, memiliki ciri-ciri berbadan kurus, tinggi, kekar, berdarah hangat, dengan lengan dan tungkai yang panjang; pinggangnya besar dengan buah dada yang kecil; di bawah kulitnya yang sawo matang terlihat urat-urat nadi; wajahnya berbentuk lonjong dan mendongak; suaranya serak; kalau berjalan cepat seperti terburu-buru; ia cerdik juga sopan. Meski begitu, perempuan tipe ini selalu mencari kesempatan untuk menguntungkan dirinya sendiri; ia egois namun tetap pandai bersikap seolah pemurah; ia punya sifat keras kepala dan buruk hatinya, namun mampu menyembunyikannya. Ia banyak bicara dan banyak makan. Tipe terakhir, hastini, bertubuh pendek, gemuk, buruk rupa; mulutnya besar dengan bibir yang tebal; matanya kecil dan merah; wajahnya pucat, tidak bersinar; lehernya pendek atau kalau panjang bentuknya bengkok; kalau berjalan pelan dan tidak enak dilihat; sifatnya kejam dan tak punya malu. Menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, keempat tipe perempuan mungkin saja mewakili empat kasta dalam Hindu Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra. Putri yang digambarkan dalam teks sastra dan relief candi masuk ke dalam tipe citrini. Sementara para pengiring putri dan putra raja atau para emban dimasukkan dalam kriteria hastini. Hal itu dicontohkan dengan perkawinan antara Semar dan Nini Towok dalam teks Sudamala. Keduanya digambarkan sangat bernafsu dalam seks. Nini Towok digambarkan jalannya pelan dan perutnya gombyor. Dalam relief kisah Arjunawiwaha di Gua Selomangleng, Tulungagung misalnya, tokoh Panakawan, baik perempuan maupun laki-laki digambarkan berbadan serba gemuk dengan mulut lebar dan bibir tebal. Contoh perempuan tipe padmini terdapat dalam teks Sri Tanjung. Ia merupakan perempuan yang tinggal di sebuah wanasrama. Ini mengacu pada kasta Brahmana. Ia digambarkan pula sebagai perempuan berkulit halus, cantik, tenang, dan jalannya seperti angsa. Meski begitu, ada perbedaan penggambaran putri raja dalam teks tadi dengan prasasti. Jika dalam teks sastra yang sesuai dengan teks India mereka masuk ke dalam tipe citrini, sedangkan dalam prasasti mereka dimasukkan dalam tipe padmini. Itu seperti deskripsi dalam Prasasti Kayumwunan 824 M yang menyebut Pramodyawarddhani, permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang Mataram Kuno cara berjalannya seperti angsa, suaranya bagaikan tekukur, matanya bagaikan menjangan. Ciri ini lebih mirip dengan tipe padmini. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Prasasti Pucanan 1037 M. Prasasti ini melukiskan Sri Isanatunggawijaya bagaikan seekor angsa yang mempesona karena tinggal di telaga Manasa yang suci. “Mungkin karena Pramodhawarddhani maupun Isanatunggawijaya adalah putri raja yang sangat taat pada agama sehingga lebih pantas dimasukkan ke dalam tipe padmini atau mereka tipe perempuan paling baik yang di dalam bahasa Jawa disebut dengan padmanagara,” tulis Titi dalam Perempuan Jawa.
foto orang jawa kuno